Sabtu, 12 Juli 2008

Untuk Sahabatku

Ahmadiyah Yang Kukenal


Sejak Markas Ahmadiyah di Parung-Bogor mendapatkan penyerangan dari sekelompok massa yang anti terhadap aliran ini (2005), seolah persekusi terhadap Ahmadiyah tiada kunjung berhenti. Bahkan di beberapa daerah seperti di NTB, Kuningan, Cianjur, Tasik Malaya, Sukabumi, dan di wilayah Sulawesi Selatan pun terjadi hal yang sama. Sehingga berita tentang aliran ini, tak jarang menjadi headline news di beberapa media cetak maupun elektronik. Puncaknya adalah di terbitkannya SKB tiga mentri tentang pembatasan ruang gerak Ahmadiyah dalam melakukan dakwah ke luar, khususnya yang berkaitan dengan akidah tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad (pendiri aliran Ahmadiyah).

Fenomena ini yang membuatku berkeinginan untuk menuliskan catatan kecil tentang Ahmadiyah, karena aku juga telah mengenal aliran ini sejak tahun 1995. Hal inilah yang membuatku terus mengikuti kasus yang terjadi dengan Ahmadiyah. Dan persekusi demi persekusi yang dialami oleh para pengikut Ahmadiyah di Indonesia memaksaku untuk menuliskan catatan ini. Hatiku seperti tersayat sembilu ketika mengetahui dari sahabatku yang juga penganut aliran ini lewat pembicaraan via telepon beberapa waktu yang lalu, bahwa sampai saat ini, pengikut Ahmadiyah di NTB masih tinggal di pengungsian. Hal ini disebabkan aksi sekelompok massa yang memporak-porandakan dan membumi-hanguskan kampung mereka di desa Gegerung, Lombok Barat (2006).

Dengan berbagai macam dalih dan dalil, pihak yang anti terhadap Ahmadiyah berargumen untuk membenarkan tindakan mereka. Terakhir kasus yang terjadi di Monas (1/6), yang menyebabkan puluhan orang luka-luka karena penyerangan dari sekelompok orang yang mengatasnamakan Laskar Pembela Islam dengan alasan, acara yang akan digelar di Monas oleh AKKBB adalah aksi untuk mendukung Ahmadiyah. Padahal di beberapa media cetak, sebelumnya sudah dimuat iklan oleh pihak AKKBB, bahwa aksi mereka adalah untuk memperingati hari lahirnya Pancasila. Karena Ahmadiyah adalah bagian dari komponen anak bangsa, maka Ahmadiyah pun adalah salah satu yang diperjuangkan hak-hak hidupnya oleh Aliansi Kebangsaan untuk memperjuangkan kebebasan beribadah dan berkeyakinan ini.

Yang membuatku sangat kebingungan, pihak penyerang mengatakan, aksi mereka adalah untuk mendesak pemerintah segera membubarkan Ahmadiyah. Tragedi Monas itu terjadi disebabkan ketidak-tegasan pemerintah terhadap Ahmadiyah. Isu pun mulai bergeser, dari tindakan anarkis terhadap puluhan orang yang akan merayakan hari lahirnya Pancasila kepada perjuangan untuk menumpas aliran sesat. Yang perlu dipertanyakan, apabila isu itu telah bergeser, lalu apakah para pengikut Ahmadiyah disebabkan fatwa sesat dari MUI layak untuk diperlakukan seperti itu? Apakah karena label sesat tersebut, masjid, rumah, aset mereka halal untuk dirusak dan dibakar?

Walaupun pihak MUI, sebagai pihak yang bertanggung jawab mengeluarkan kembali fatwa sesatnya terhadap Ahmadiyah (2005), berulang kali menghimbau masyarakat untuk tidak berlaku anarkis, toh kenyataannya himbauan dari MUI tidak pernah digubris. Bahkan setelah fatwa itu keluar, seolah dijadikan pembenaran terhadap serangkaian aksi anarkis yang terjadi di beberapa daerah. Mereka lebih taat terhadap fatwa sesat MUI diikuti dengan gerakan yang mereka sebut penumpasan terhadap aliran sesat, daripada mendengarkan himbauan untuk tidak berlaku anarkis.

Padahal fatwa sesat MUI terhadap Ahmadiyah pun masih dipersoalkan oleh banyak pihak. Ada yang setuju tetapi tidak sedikit pula yang menentang, karena dalam mengeluarkan fatwanya, MUI dinilai tidak secara komprehensif memperhatikan faktor sosiologis masyarakat sehingga faktanya, fatwa mereka dijadikan legitimasi oleh pihak anti Ahmadiyah untuk memberangus aliran ini. Dampaknya cukup riil yaitu terjadinya aksi anarkis di beberapa daerah terhadap Ahmadiyah dan aset-asetnya.

Aku pun termasuk salah seorang yang menyoal fatwa MUI tentang sesatnya Ahmadiyah. Walaupun pada beberapa keyakinanku, terdapat ketidak-sepahaman dengan Ahmadiyah, akan tetapi sesat atau tidaknya Ahmadiyah bukan pada ranah manusia untuk menentukannya. Karena kita tidak tahu apakah golongan Sunni, Syi’ah,Wahabbi, Naqsabandiyyah, ataupun Ahmadiyah sendiri yang diridhoi Allah. Semuanya masih sebatas dalam tahapan effort untuk mengamalkan sepenuhnya perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW. Tidak ada klaim kebenaran yang bisa menjanjikan bahwa golonganku lah yang paling diridhoi Allah. Yang jelas Allah SWT hanya berfirman sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah SWT adalah yang paling bertakwa diantaramu.

Aku mengenal Ahmadiyah dari salah seorang kawanku semasa masih duduk di bangku Sekolah Menengah Umum (SMU). Dia adalah sosok pribadi yang sederhana walaupun orang tuanya cukup berada. Awalnya aku tidak mengetahui kalau kawanku itu seorang pengikut Ahmadiyah, hanya saja aku melihat ada beberapa hal yang menonjol darinya, yaitu stressing terhadap sholat dan infak. Hal itu yang membuat aku sangat bersimpati terhadapnya, karena dalam usia-usia seperti kami waktu itu, perhatian terhadap masalah ibadah sangat kurang sekali. Tapi baginya sholat adalah satu kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bahkan dia selalu mengamalkan dengan rutin untuk melaksanakan sholat tahajjud. Satu kebiasaannya juga adalah menyisihkan dari uang saku yang diberikan orang tuanya untuk infaq fi sabilillah. Pernah beberapa kali aku menginap di rumahnya, ada kebiasaan yang cukup unik di keluarganya yaitu setelah sholat berjama’ah subuh dan maghrib selalu di lakukan daras al-Quran (ngaji) bersama-sama. Hal itu rutin dilakukan di keluarganya.

Sampai pada akhirnya aku bertanya ikut golongan Islam yang mana, lalu dia menjawab bahwa dia dan keluarganya adalah pengikut Ahmadiyah. Kemudian dia menjelaskan dengan panjang lebar tentang apa itu Ahmadiyah dan memberikan literatur-literaturnya juga. Aku sudah pelajari buku-buku itu dan beberapa kali sempat aku diskusikan juga dengan beberapa ulama yang aku kenal. Pada waktu itu aku menyimpulkan hanya ada satu perbedaan saja, yaitu masalah kedatangan Nabi Isa kembali di akhir zaman.

Oleh karena itu ketika muncul tuduhan-tuduhan terhadap Ahmadiyah, bahwa mereka syahadatnya berbeda dengan umat Islam lainnya, kitab sucinya bukan al-Quran, hajinya bukan ke Mekkah membuatku tersontak kaget, darimana tuduhan-tuduhan tersebut bisa muncul? Syahadat mereka sama dengan kita, kitab sucinya pun al-Quran, bahkan kedua orang tuanya telah menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Mereka juga puasa Ramadhan dan menunaikan zakat. Karena sesuai dengan sabda Rasulullah SAW kriteria muslim adalah :
Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ’Islam itu dibangun di atas lima perkara, yaitu: Bersaksi tiada sesembahan yang haq kecuali Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh, menegakkan sholat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitullah, dan berpuasa pada bulan Ramadhan.”(HR.Bukhari dan Muslim)
Menurut Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhahullah dalam Ringkasan Syarah Arba’in an-Nawawi nya mengemukakan hukum meninggalkan rukun Islam dapat diperinci sebagai berikut: meninggalkan syahadatain hukumnya kafir secara ijma’, meninggalkan shalat hukumnya kafir menurut jumhur ulama atau ijma’ sahabat, dan meninggalkan rukun yang lainnya hukumnya tidak kafir menurut jumhur ulama.
Jadi kalau seseorang masih mengucapkan syahadatain dan mengerjakan sholat, sesuai dari penjelasan syarah hadits tersebut, dia tidak bisa dinyatakan kafir. Kawanku dan keluarganya yang pengikut aliran Ahmadiyah bukan hanya mengucapkan syahadatain dan mengerjakan sholat saja, rukun yang lainnya pun telah mereka kerjakan. Artinya mereka masih bagian dari Islam.
Apabila masalah pengakuan dari Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi dan Al-Masih Al Mau’ud (Nabi Isa yang dijanjikan) yang dipersoalkan, maka sesungguhnya keyakinan inipun masih sangat dipegang teguh oleh Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Satu ketika guru ngajiku, yaitu Kyai Nur demikian biasa aku memanggilnya, pernah menjelaskan bahwa kondisi dunia dan umat manusia yang sedang dalam degradasi moral ini akan bisa baik apabila datang Nabi Isa yang kedua. Bahkan beliau mengatakan wajib kiranya meyakini bahwa Nabi Isa a.s. itu akan turun kembali pada akhir zaman sebagai Nabi dan Rasul yang melaksanakan syariat Nabi Muhammad SAW. Dan hal itu tidak berarti menghalangi Nabi Muhammad saw. sebagai Nabi terakhir sebab Nabi Isa a.s. hanya akan melaksanakan syariat Nabi Muhammad saw. Mengenai keyakinan inipun dapat kita lihat dalam hasil Muktamar NU yang ke-3 tentang masalah diniyah di Surabaya tanggal 27 September 1928. Akan tetapi pada waktu itu, perbedaan antara aku dan kawanku yang Ahmadiyah itu adalah pada figur Nabi Isa nya. Menurutku Nabi Isa masih belum turun dan menurutnya Nabi Isa yang akan datang adalah tamsil (perumpamaan), bukan Nabi Isa yang dulu. Dan menurutnya keyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai khatamun nabiyyin sampai kapanpun akan tetap dipegang dengan kuat.
Artinya, masalah turunnya Nabi Isa yang kedua kali masih sangat diperdebatkan oleh banyak pihak, karena sumber rujukan haditsnya pun sangat banyak. Perbedaan sangat dimungkinkan adanya karena luasnya penafsiran. Akan tetapi dalam menyikapi perbedaan itulah yang terpenting untuk diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena negara kita adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan berkomitmen untuk melindungi setiap warga negaranya. Negara kita adalah Negara yang kaya akan ke-bhinekaan sehingga sikap saling tenggang rasa dan saling menghargai yang harus dikembangkan untuk menyikapi adanya perbedaan. Untuk itu dibutuhkan sikap toleran terhadap perbedaan sehingga iklim yang aman, damai, dan tentram dapat tercipta dan terjaga di negeri kita yang tercinta ini.
Islam pun mengajarkan untuk tetap menjaga ukhuwah dan mengedepankan toleransi dalam menyikapi setiap perbedaan. Sehingga Rasulullah SAW pernah bersabada perbedaan dalam umatku adalah rahmat. Wa Allah a’lamu bish shawab

Tio-Mahasiswa FISIP UT
next...